Di Balik Cadar Aisha

Di Balik Cadar Aisha
Wakaf


__ADS_3

Semua orang duduk termangu, sibuk dengan pikirannya masing-masing.


"Kasihan Almarhum ayahnya Pak Yasid, jika tanah wakaf ini jadi diambil kembali oleh anaknya maka terputuslah kucuran pahala untuknya selama ini," ucap Ahmad memecah keheningan.


"Orang tua pak Yasid pasti tahu jika sedekah yang paling mulia dan utama adalah wakaf karena Allah menganjurkan dan menjanjikan pahala yang sangat besar bagi orang-orang yang berwakaf (wakif), harta yang disedekahkan dalam bentuk wakaf akan dibawa mati dan menjadi penerang di alam kubur, karena pahalanya akan terus mengalir sampai hari kiamat."


"Seorang wakif tak hanya mendapat pahala saat memberikan wakaf, tapi akan terus mendapatkan kucuran pahala meskipun pewakaf tersebut telah meninggal dunia, apalagi jika tanah yang di wakafkannya dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat terutama syiar agama seperti pesantren ini."


Semua mendengarkan perkataan Ahmad, terutama Andre nampak serius mencerna kata demi kata dari apa yang Ahmad ucapkan.


"Karena itu Wakaf disebut sebagai harta yang dibawa mati, karena jika kita wakaf sekali maka pahalanya abadi."


Andre semakin terkesima mendengar perkataan Ahmad.


"Lalu bagaimana jika tanah wakaf diambil kembali oleh ahli warisnya? Seperti kasus kita saat ini." Siti bertanya pada kakaknya.


"Harta yang telah diwakafkan tidak boleh ditarik kembali karena pada hakikatnya akad wakaf adalah memindahkan kepemilikan kepada Allah. Harta wakaf terlepas dari hak milik wakif sejak wakaf diikrarkan," jawab Ahmad.


"Meminta atau mengambil kembali tanah wakaf bahkan bisa diancam pidana. Ada undang-undang yang mengaturnya." Ali bersuara.


"Kalau begitu kita bisa menggugatnya?" tanya Aisha.


Ahmad menggelengkan kepalanya.


"Mungkin atas dasar kepercayaan, Almarhum Abah dan almarhum ayahnya pak Yasid tidak serta merta membuat kesepakatan hitam di atas putih, hanya dengan ikrar dan para saksi saja. Bahkan Abah tak pernah meminta sertifikat tanahnya apalagi membalikkan nama."


Ayah menghela napas panjang dan membuangnya kasar.


"Itulah kesalahan kita waktu itu, tak ada bukti tertulis. Walaupun saya menjadi salah satu saksinya, namun pasti kesaksian saya akan cacat karena tetap tak mempunyai bukti, lain halnya dengan Yasid yang masih memegang bukti sertifikat tanah ini."


"Saksi lainnya?" tanya Alvian.


Ayah menggelengkan kepalanya.


"Mereka sudah tiada, waktu itu kebanyakan adalah para orang tua sesepuh kampung ini."


Semua orang terlihat putus asa. Mereka terdiam seketika.


"Tidak apa-apa. Saya akan membayarnya. Kalian tidak usah khawatir," ucap Andre tiba-tiba.

__ADS_1


Semua orang langsung melihatnya.


"Seperti yang sudah saya katakan pada Pak Yasid tadi. Saya akan membayar berapapun yang mereka mau, asal Pondok Pesantren ini tetap berdiri kokoh."


Ummi yang sedari diliputi kesedihan melihat Andre dengan berkaca-kaca.


"Benarkah itu nak? Jika benar maka Ummi akan sangat bersyukur."


Andre mengangguk.


"Ummi tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada Pondok ini jika Nak Andre tidak membeli kembali tanah ini." Ummi terlihat sangat sedih.


***


Keesokan harinya.


Setelah selesai membaca doa di samping pusara Abah, Aisha menatap nanar batu nisan yang bertuliskan nama ayahnya.


"Assalamualaikum Abah." Aisha mengusap batu nisan sang ayah.


"Aisha rindu Abah. Rindu suara Abah, Senyuman Abah, Nasihat-nasihat Abah, pelukan hangat Abah dan kasih sayang Abah. Aisha merindukan itu semua." Aisha menahan tangisnya.


"Abah. Aisha yakin jika Abah sudah tenang disana." Aisha terisak.


"Abah. Abah tahu jika sekarang dunia semakin gila. Manusia semakin serakah. Harta membuat mereka teperdaya kenikmatan dunia yang sesaat. Seakan mereka akan hidup selamanya. Akhirat bagi mereka seolah hanya dongeng belaka," ucap Aisha sambil memikirkan kembali permasalahan keluarga mereka dengan pak Yasid.


"Abah. Pondok Pesantren ini adalah hidup Abah, mimpi dan impian Abah, kami anak-anak Abah akan berusaha sekuat kami agar pondok ini tetap berdiri. Seperti keinginan Abah, kami akan terus memperjuangkan dan memajukan pondok pesantren ini."


Aisha terisak.


"Pondok Pesantren ini akan tetap berdiri dengan kokoh sayang," ucap Alvian tiba-tiba mengagetkan Aisha.


Aisha langsung melihat Alvian yang kini sudah duduk di sampingnya.


"Andre baru saja membayar kontan seluruh tanah ini pada Pak Yasid," ucap Alvian membuat Aisha senang.


"Kak Andre benar-benar melakukannya?" tanya Aisha tak percaya.


Alvian mengangguk sambil tersenyum. Dia kemudian menceritakan jika baru saja dirinya menemani Andre melakukan transaksi jual beli tanah di kantor notaris.

__ADS_1


"Tadinya aku juga sempat ragu, tapi kemudian aku percaya setelah melihatnya sendiri tadi, Andre mengeluarkan seluruh uangnya untuk membeli seluruh tanah ini."


"Alhamdulillah." Aisha mengucapkan rasa syukur berkali-kali.


"Sekarang kamu tidak perlu cemas lagi, semua permasalahan sudah beres. Pesantren ini tetap akan berjalan seperti semula."


Aisha mengangguk senang.


"Sekarang kak Andre benar-benar menjadi orang yang kaya, bahkan sangat kaya, karena Allah akan membayar berkali-kali lipat harta yang dikeluarkannya di jalan Allah."


***


Keesokan harinya lagi Pak Yasid datang kembali ke Pondok Pesantren bersama seorang notaris selain untuk serah terima dan menuntaskan transaksi jual beli tanah juga sekaligus mengurus banyak dokumen untuk membalik nama tanah yang dibeli Andre.


Dengan disaksikan oleh semua anak Abah, juga beberapa perangkat desa, tokoh agama dan pihak terkait, Andre sekalian mengikrarkan tanah yang dibelinya untuk wakaf pondok pesantren.


"Aku ingin mewakafkan tanah yang kubeli atas nama kedua orang tuaku yang sudah meninggal."


Ayah dan Ibu yang juga ada disana merasa terharu, begitu juga dengan yang lainnya.


"Juga untuk kedua orang tua pak Yasid," lanjut Andre lagi sambil melihat Pak Yasid.


Semua orang terlihat kaget terutama Pak Yasid yang sedari tadi hanya menunduk langsung mengangkat kepalanya melihat Andre.


"Aku ingin kedua orang tua anda tetap mendapatkan kucuran pahala dari tanah ini. Meskipun anda sudah mengambil dan menjualnya."


Wajah Pak Yasid langsung merah menahan malu karena semua orang tampak melihatnya dengan kesal, akan tetapi dia tak bisa mengatakan apapun kecuali hanya duduk terdiam saja.


Setelah selesai semua tamu berpamitan untuk pergi, begitu juga dengan keluarga pak Yasid.


"Saya ingin memperjelas jika disini saya tidak mengambil tanah wakaf, tapi mengambil tanah yang memang adalah hak saya, asal kalian tahu jika dulu orang tua saya mewakafkan tanah ini tanpa persetujuan saya sebagai ahli warisnya, jadi saya pikir apa yang saya lakukan ini benar tidak salah." Pak Yasid melihat semua anak-anak Abah dengan angkuh.


"Memang tidak salah." Aisha langsung menjawab.


Pak Yasid tersenyum senang.


"Bagi orang serakah," lanjut Aisha lagi tiba-tiba.


Wajah pak Yasid berubah kecut.

__ADS_1


__ADS_2