
__ADS_3
Keesokan harinya.
Kini keadaan Anggia sudah lebih baik, namun dari semalam semejak bayinya lahir ia belum juga melihat keduanya, tak ada lagi sipat ceria Anggia kini ia kembali bersipat pendiam seperti sebelum ia mengandung, Bilmar juga merasa aneh akan hal itu jujur ia pun merasa tak nyaman kini terlihat jelas jarak di antara mereka.
"Anggi kamu mau makan apa Nak?" tanya Ratih.
"Anggi, mau siapin asi buat baby twins dulu Mi," tutur Anggia sambil memegang botol asi di tangannya juga pemompa asi.
"Ya sudah, setelah itu kamu makan buahnya ya, Mami pulang dulu, nanti Mami balik lagi sama Papi juga ya Nak?" pamit Ratih. Sebab ia belum pulang sama sekali semenjak semalam Anggia di larikan ke rumah sakit.
"Iya Mi," jawab Anggia tersenyum tulus, ia sangat terharu dengan ketulusan Ratih yang begitu menyayanginya.
Setelah kepergian Ratih, kini tinggal Anggia dan Bilmar yang duduk di sofa. Anggia merasa sangat malu sebab Bilmar terus memperhatikannya sementara ia harus segera memompa asi untuk bayinya. Akhirnya perlahan Anggia memunggungi Bilmar dan mulai memompa asinya.
"Anggi," terdengar suara Bilmar yang kini ternyata ada di hadapannya, Anggia terkejut dan ia tidak menyadari Bilmar. Dengan cepat Anggia mentupnya karena malu.
"Em....." Anggia perlahan menatap Bilmar, "Abang udah lsma berdiri di sini?" tanya Anggia setelah menyadari Bilmar.
"Kamu sebenarnya kenapa?" kata Bilmar yang bertanya tanpa menjawab pertanyaan Anggia barusan.
"Anggi, malu aja kalau Abang lihat," kata Anggia menundukan kepala.
"Kenapa harus malu?" tanya Bilmar sambil duduk di sisi ranjang berdekatan dengan Anggia, "Saya sudah sangat hapal dengan apa yang ada pada mu," kata Bilmar mengingatkan jika mereka sudah sering melakukan hal itu.
"Iya...." kata Anggia, dengan perlahan ia kembali melanjutkan dengan kepala menunduk, "Abang....Anggi bisa minta tolong?" tanya Anggia dengan perasaan tak enak, sebab ia tau kini Bilmar sudah tak berkewajiban padanya karena anak-anaknya sudah lahir, dan Anggia tak mau membebani orang lain.
__ADS_1
"Kamu mau minta tolong apa?" tanya Bilmar penasaran istrinya ingin apa, dan kenapa semuanya terlihat begitu canggung, seperti saat pertama bertemu dulu.
"Anggi pengen lihat baby twins," kata Anggia menatap Bilmar penuh harap, "Sambil mau ngasih ini," Anggia menunjuk dua botol yang berisi asi untuk kedua bayinya.
"Boleh, yuk," kata Bilmar pun ingin melihat bayinya, sebab pagi ini memang ia belum melihat keduanya sama sekali.
"Iya," pelahan Anggia turun dari ranjang, tanpa meminta bantuan pada Bilmar, kini ia mulai menjadi wanita tertutup seperti dulu dan tak suka membebani orang lain, termasuk Bilmar.
"Sini Abang angkat aja," kata Bilmar sambil mengangkat Anggia bahkan tanpa menunghu persetujuan Anggia.
"Eh....." Anggia terkejut merasa tubuhnya melayang karena Bilmar kini mengangkatnya dan mendudukannya di kursi roda, "Makasih," kata Anggia merasa tak enak hati.
"Ayo," Bilmar mendorong kursi roda Anggia menuju ruangan di mana baby twins berada.
Kini Anggia dan Bilmar sudah berada di ruang NICU, Anggia meminta perawat untuk mengambil bayinya ia ingin memeluk bayinya karena memang sejak ia selesai operasi belum pernah melihat atau pun memeluk bayinya.
"Oh ya......" Anggia tersenyum dan menatap Bilmar yang berdiri di hadapannya.
"Iya," Bilmar menunjuk bayi laki-lakinya yang masih berada di dalam inkibator, "Yang ini namanya Alif Rianda, terus....." Bilmar berjongkok dan kembali mengelus pipi bayi mungilnya yang masih berada dalam pelukan Anggia meminum asi yang di persiapkan Anggia sebelumnya, "Namanya Alma Rianda, gimana kamu suka?" tanya Bilmar pada Anggia.
"Iya," Anggia tersenyum pada Bilmar,
"Alma mirip Mami ya Ngi?" tanya Bilmar.
"Iya, tadinya Anggi juga mikir begitu," kata Anggia yang tadinya juga ingin mengatakan hal yang sama.
__ADS_1
"Kalau wajahnya mirip begini orang nggak akan ragu kalau ini cucunya keluarga Rianda, tinggal kecerewetannya apa kah sama nanti atau nggak sama Oma yang bawel itu, cantiknya boleh kamu warisi Nak, cerewetnya jangan ya," seloroh Bilmar.
DEEEG.
Jantung Anggia terasa di iris mendengar perkataan Bilmar, sejenak Anggia berpikir apakah Bilmar ragu akan anak itu. Rasa sakit dan perihnya jahitan operasi saja masih sangat terasa dan kini ucapan Bilmar seakan semakin menyayat hatinya. Yang ia harapkan kini Bilmar meyakinkannya akan pernikahan mereka namun ucapan Bilmar justru hal yang melukai hati Anggia.
"Abang ragu?" tanya Anggia meneteskan air mata, menatap Bilmar, tak ada kata yang bisa ia ucapkan selain itu, yang jelas dadanya sangat sesak.
"Anggia, kamu nangis," Bilmar tak mengerti dengan Anggia yang kini malah menjadi perasa, sebab saat Anggia hamil ia berubah menjadi gadis humoris. Dan maksud Bilmar bukan meragukan anak itu, seandainya pun anak itu bukan anaknya Bilmar siap menjadi ayah dari bayi itu. Apa lagi kini bayi-bayi itu memang anaknya.
"Abang....perut Anggi berasa pegih banget," kata Anggia ingin memberikan baby Alma pada Bilmar tapi ternyata Bilmar tak berani sebab bayi itu terlalu kecil dari bayi biasanya.
"Sus.....tolong....." Bilmar meminta seorang perawat untuk mengambil alih Alma dari pangkuan Anggia.
"Anggi mau ke kamar aja," kata Anggia pada Bilmar, ia tak sanggup melihat wajah dua bayinya.
"Iya Abang anterin," Bilmar mendorong kursi roda Anggia dengan perasaan bersalah, ia tak menyangka gurauannya ternyata melukai hati Anggia. Ia tau bayi itu ada karena tanpa di pinta juga hadir di waktu yang tidak tepat, namun Bilmar tetap menerima bagi Bilmar bayi-bayinya adalah anugrah terindah, sebab karena adanya bayi itu kini ia bisa bersama dengan orang yang di cintainya yaitu Anggia.
"Abang......Anggi bisa sendiri," kata Anggia merasa tak enak hati, rasanya perasaan Anggia kini sangat bercampur aduk. Ia tak bisa membayangkan saat perpisahan itu tiba, dada terasa sesak, rasa sakit itu kian terasa sempurna sudah rasa perih yang kini ia rasakan.
"Anggi kamu mau makan atau apa?" tanya Bilmar lagi agar memecahkan suasana canggung keduanya, rasanya Bilmar merasa bersalah dengan ucapannya, "Anggi sebenarnya kamu kenapa?" tanya Bilmar, sebab ia tak ingin Anggia berubah begini, ia ingin Anggia yang cengen dan selalu bermanja padanya. Dengan begitu artinya Anggia membutuhkannya, dan kalau sekarang ia merasa Anggia tak membutuhkannya.
"Anggi nggak papa, cuman pengen istirahat aja," kata Anggia tersenyum pada Bilmar.
"Yakin?" kata Bilmar sambil menarik selimut untuk Anggia.
__ADS_1
"Iya," kata Anggia sambil menutup mata, tak ada kata yang bisa ia ucapkan yang jelas mendengar ucapan Bilmar hatinya sakit walau pun itu hanya gurauan. Mungkin karena Bilmar belum meyakinkannya akan pernikahan itu.
__ADS_2