
__ADS_3
"Apa kau yakin dengan keputusanmu untuk bercerai setelah anak ini lahir?" Tanya Rania hati-hati.
Kyara mengangguk lemah. Kedua matanya sudah mulai tergenang. "Aku sangat yakin. Mungkin aku bisa saja memaafkan kesalahannya. Namun aku tidak semudah itu melupakan perlakuan kejamnya selama ini padaku bahkan ia juga melakukan pengkhianatan di dalam rumah tangga kami. Dan aku masih terlalu sakit saat mengingat dia lebih memilih menyelamatkan kekasihnya dibandingkan aku yang sedang dalam keadaan hidup dan mati bersama calon anaknya yang ada di rahimku." Jelas Kyara berderai air mata.
"Maafkan aku membuatmu kembali mengingat masa-masa buruk itu, Kya." Rania merasa bersalah.
"Tak apa... Aku bahkan berterimakasih padamu untuk segala kebaikanmu selama ini padaku, Rania." Ungkap Kyara.
"Hish... Kau ini selalu saja!" Gerutu Rania yang sudah malas mendengar ucapan terimakasih Kyara.
Kyara terkekeh dalam tangisannya. Tangannya kini menghapus sisa-sisa air mata di sudut matanya.
"Apa kau tidak berniat untuk menikah? Tanya Kyara tiba-tiba.
Rania terkekeh kecil. "Aku belum memikirkannya."
"Apa kau ragu karena melihat nasib pernikahanku yang buruk?"
Rania menggeleng. "Tidak. Aku memang belum memikirkannya. Bahkan umurku masih dua puluh dua tahun. Sepertinya masih cukup muda untuk aku menikah. Apa lagi saat ini aku masih ingin bekerja dan menemanimu merawat calon ponakanku nantinya."
__ADS_1
"Jangan karena aku masa depanmu jadi terhambat, Rania." Sesal Kyara.
"Kau ini bicara apa? Aku memang sudah memutuskan jalan hidupku sendiri. Dan aku senang melakukannya." Tekan Rania.
"Tapi... Apa kau tidak sedang mencintai seseorang saat ini?"
Deg
Jantung Rania berdetak begitu cepat. Rania menormalkan kembali raut wajahnya yang sudah nampak tegang.
"Hahaha..." Tawa Rania menggelegar. "Mencintai siapa, Kya? Sungguh pertanyaan konyol." Kilahnya.
"Apa Kakek Surya akan kembali berkunjung minggu ini, Kya?" Tanya Rania mengalihkan pembicaraan.
"Sepertinya tidak. Karena Mama memberi kabar jika saat ini Kakek masih demam dan belum terlalu sehat. Mungkin minggu besok mereka baru bisa berkunjung."
"Kau sungguh beruntung mendapatkan keluarga seperti mereka, Kya."
Kyara tersenyum kecut.
__ADS_1
"Kebahagiaan itu akan berakhir setelah anak ini lahir, Rania. Aku bukan lagi menantu di keluarga mereka."
Rania menghela nafasnya melihat wajah Kyara yang tiba-tiba murung.
"Apa perkataan Kakek Surya waktu itu tidak jelas di pendengaranmu, Kya? Bukankah Kakek Surya beserta om dan tante akan tetap menganggapmu sebagai cucu dan anak mereka meski kau tetap memutuskan untuk berpisah dari Pak Gerry?"
"Aku hanya takut, Rania. Aku juga takut jika mereka berniat mengambil anakku dari sisiku."
"Kau terlalu berpikir terlalu jauh. Sepertinya semenjak hamil kau terlalu suka berpikiran buruk pada orang lain." Cibir Rania.
"Aku hanya takut saja, Rania." Lirihnya.
"Aku tahu. Tapi aku yakin jika Kakek Surya bukan orang yang seperti itu. Aku dapat melihat dengan jelas jika Kakek Surya tulus menyayangimu, Kya." Tekan Rania.
Kyara mengangguk. "Aku tahu. Dan aku juga bisa merasakannya. Mungkin karena hormon kehamilan membuat aku menjadi penakut seperti ini." Kilahnya. Tangannya kini mengelus perutnya yang semakin membuncit. "Jangan buat Mama berpikiran buruk terus ya, dek!" Nasihat Kyara pada janinnya.
Lagi-lagi janin tak berdosa harus menjadi umpan atas pemikiran buruk orang tuanya. Gerutu Rania dalam hati.
***
__ADS_1
Jangan lupa vote, like dan komen, yah!:)
__ADS_2