
__ADS_3
Satu jam berada di dalam kamar mandi, Rania pun keluar dari dalam kamar mandi dengan raut wajah masamnya. Bibirnya tak henti menggerutu pada pria yang kini berjalan di belakangnya. Berbeda jauh dengan William yang mengembangkan senyumannya sambil terus berjalan di belakang Rania.
"Sepertinya tulang belulangku akan patah jika kau terus menggempurku seperti ini." Ucap Rania menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Rania pun menguap merasakan kantuk pada matanya.
William menarik sebelah bibirnya ke samping. "Apa kau lelah?" Tanyanya tidak masuk akal.
Rania berdecak. "Tentu saja aku lelah. Dan itu semua karenamu." Sungutnya menatap sebal pada suaminya.
William tertawa. "Tapi kau terlihat menikmatinya bukan?" Ledek William mengelus rambut Rania gemas.
"Ti-tidak. Siapa bilang aku menikmatinya." Rania mengalihkan wajah ke samping.
William tak dapat menahan tawanya. "Sudahlah... Aku tahu kau begitu menikmatinya." William turut menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang di samping Rania. "Kemarilah. Tubuhku mulai terasa dingin kembali." William menarik tubuh Rania ke dalam pelukannya.
Deg
__ADS_1
Rania dapat merasakan detak jantung William yang berdetak begitu cepat. Pandangannya pun beralih menatap wajah William. Pria itu terlihat sudah menutup kedua kelopak matanya.
"Tidurlah. Bukankah kau lelah?" Ucap William pada Rania tanpa membuka matanya.
Rania pun semakin membenamkan tubuhnya ke dalam pelukan suaminya. "Selamat tidur." Lirihnya kemudian menutup matanya. Rasa lelah akibat digempur oleh suaminya di kamar mandi membuat Rania begitu lelah dan mengantuk. Tak lama menunggu, dengkuran halus pun mulai terdengar.
William membuka kedua kelopak matanya. Menjatuhkan pandangan pada wajah yang kini terbenam di dalam pelukannya. "Selamat tidur istriku... Terimakasih telah menjadi istri yang baik untukku." Gumamnya mengecup lama kening istrinya.
*
Hari demi hari pun Rania lalui dengan senyuman terkembang dari bibir mungilnya. Perlakuan William yang sangat manis kepadanya membuat wanita itu melayang. Namun Rania bukanlah wanita yang terlalu mudah terbuai. Rania tetap rutin meminum pil penunda kehamilannya sebelum ia mendapatkan kepastian atas pernikahannya. Apalagi saat ini Rania merasakan ada sesuatu hal yang sedang disembunyikan suaminya itu.
"Terimakasih. Dua bulan bekerja di sini cukup membuatku bertambah ilmu dalam memahami pekerjaan sebagai seorang sekretaris yang benar." Ucap Rania menyelipkan sindiran halus pada Sean.
"Agh, kau terlalu repot begitu... Padahal aku hanya memintamu untuk menjadi sekretaris yang menjadi sumber energiku saja." Decak Sean.
__ADS_1
"Jika aku hanya menjadi sumber energimu saja. Jadi kapan aku akan bisa bertambah pintar? Jika untuk menemanimu, Felix juga bisa." Desah Rania.
"Jika bersamamu akan lebih berbeda. Aku merasakan lebih bersemangat bekerja dan melakukan kerja sama dengan berbagai pihak setelah melihat senyumanmu setiap hari." Goda Sean.
"Diamlah. Aku sungguh sudah bosan mendengar guyonanmu!" Amuk Rania.
Sean tertawa. "Oh iya, Rania. Satu minggu ke depan kau akan ikut denganku dan Felix untuk melakukan pertemuan bisnis dengan rekan kerjaku yang ada di luar kota." Ucap Sean setelah melihat berkas di atas mejanya.
"Apa Deby juga akan ikut?" Tanya Rania.
"Tentu saja tidak. Deby akan tetap berada di sini mengurus perusahaan. Lagi pula bukankah sudah aku katakan sejak awal jika tugasmu hanyalah untuk menemaniku bekerja di luar kantor ataupun luar kota. Lagi pula saat ini aku sudah yakin kau bukan hanya bisa menjadi sumber energiku, namun kau juga bisa membantu beberapa pekerjaanku nantinya di sana."
***
Hayoo Bang Bule izinin Rania buat pergi gak ya???
__ADS_1
Dan buat teman-teman semua... Mampir ke karya baruku yang berjudul "Dia Anakku, Bukan Adikku." Yuk sambil menunggu cerita Rania dan William update:)
__ADS_2