
__ADS_3
Melihat istrinya tak kunjung menghentikan langkah, William pun dengan buru-buru menyusul langkah kaki istrinya.
"Rania..." Panggil William saat Rania duduk di tepi ranjang sambil menutup wajahnya.
"Rania..." William mendekat dengan langkah pelan. Bahu istrinya itu terlihat naik turun. William yakin jika saat ini Rania tengah menangis. Agh, melihat itu semua William semakin merasa bersalah saja. Semenjak menikah dengannya, istrinya yang selalu ceria, kuat dan menjadi tameng untuk sahabat dan keluarganya itu menjadi rapuh.
"Jika kau ingin marah kepadaku aku tak apa..." Ucap Rania saat merasakan William sudah berada di dekatnya.
William menghembuskan nafasnya yang terdengar naik turun. Tangannya pun mulai terampil melepas kesepuluh jemari Rania yang menutupi wajahnya.
"Jangan menangis..." Ucap William terdengar lirih.
Rania semakin terisak. Berhadapan dengan pria yang sudah lama mengisi relung hatinya selalu saja meruntuhkan pertahanannya yang sudah ia jaga selama ini.
William tak kuasa melihat tangisan istrinya. Mensejajarkan tinggi tubuhnya dan Rania lalu membawa wanita itu ke dalam dekapannya. Rania pun semakin larut dalam tangisannya di dada bidang suaminya.
"Aku minta maaf... Sungguh aku tidak berniat menyakitimu..." Ucap William mengecup puncak kepala istrinya. William dapat merasakan jika kini kaos yang dikenakannya sudah basah oleh air mata istrinya. Namun ia membiarkannya.
"Jika sejak awal kau memang berat menerima pernikahan ini, kenapa kau tidak menolaknya." Ucap Rania di dalam pelukan William. "Aku tahu aku wanita yang tidak sepadan berdampingan denganmu." Lanjutnya lagi dengan suara tidak terlalu jelas.
"Aku menikahimu karena aku menginginkannya." Ucap William tak ingin Rania semakin salah paham terhadapnya.
"Lalu untuk apa kau melarangku untuk mencintaimu sedangkan kau tidak tahu jika perkataanmu itu sangat menyakitkan untukku." Ucap Rania memukul dada William dengan gumpalan tangannya.
__ADS_1
William menahan pergerakan Rania kemudian melerai pelukannya.
"Aku hanya tidak ingin menyakitimu, Rania." Ucap William mendesahkan nafas frustasi.
"Tidak ingin menyakitiku? Apa maksudmu?" Tanya Rania dengan mata yang semakin basah.
"Maaf... Untuk saat ini aku tidak bisa menjelaskannya kepadamu. Namun suatu saat nanti aku akan memberikan kejelasan dan kepastian itu kepadamu. Aku mohon untuk saat ini bertahanlah disisiku." Pinta William kembali membawa Rania ke dalam dekapannya.
Hatinya benar-benar kalut saat ini. Di satu sisi William sangat ingin menjelaskan masalah apa yang tengah ia alami. Namun di sisi lain William sangat takut jika kejelasannya nanti akan membuat Rania pergi dari sisinya.
"Kau membuat aku semakin bingung William..." Gumam Rania sangat pelan sehingga tak terdengar oleh pria itu.'
"Bisakah aku meminta sesuatu kepadamu?" Tanya William saat ia dan Rania sudah duduk di tepi ranjang.
"Bisakah kau tidak meminum pil itu lagi? Aku sungguh ingin kau mengandung anakku." Pinta William dengan tatapan begitu serius. Mengambil sebelah tangan Rania lalu menggenggamny erat.
Rania terdiam. Jujur saja hatinya masih saja meragu hingga saat ini.
"Aku mohon..." Pinta William menggenggam tangan Rania.
Rania menghela nafas panjang. "Bagaimana dengan perkataanmu waktu itu?" Tanyanya dengan sendu.
"Aku menarik semua perkataanku waktu itu." Ucap William dengan tegas. "Aku hanya meminta kau untuk tetap bertahan di sisiku sampai aku bisa mengungkapkan kejadian yang sebenarnya kepadamu."
__ADS_1
Mulai saat ini aku akan lebih giat lagi untuk mencari keberadaan Bianca sehingga permasalahan ini cepat terselesaikan.
***
Buat teman-teman semua... Mampir ke karya baruku yang berjudul "Dia Anakku, Bukan Adikku." Yuk sambil menunggu cerita Rania dan William update:)
Mau lanjut lagi? Kencengin komen dan votenya yuk!
Sambil menunggu cerita ini update, kalian bisa mampir di dua novel aku yang lainnya juga, ya.
- Serpihan Cinta Nauvara (End)
- Oh My Introvert Husband (End)
Jangan lupa beri dukungan dengan cara
Like
Komen
Vote
Agar author lebih semangat untuk lanjutin ceritanya, ya...
__ADS_1
__ADS_2