
__ADS_3
Warning ya. Aku udag ngetik panjang banget, kalau ada yang bilang, upnya dikit aku akan blok langsung wkwkwkw. Soalnya aku baperan, udah ngetik panjang lebar masih aja bilang sedikit. Taukan nyeseknya kaya apa wkwkw. Tapi, aku tau kok. Kalian orangnya baik-baik. Happy, reading 🤗
Mendengar ucapan Sonya yang gugup saat akan di periksa, Albert langsung menggenggam tangan Sonya, menguatkan istrinya. Dari wajah Sonya, ia tau bahwa istrinya sedang merasakan tegang yang sangat luar biasa.
"Sonya, percayalah. Apapun hasilnya. Aku akan selalu berada di sampingmu," ucap Alberth, ia lebih mengeratkan pegangan tangannya pada Sonya, meyakinkan Sonya bahwa semua akan baik-baik saja.
Sonya mengehela napas, ia membalas genggaman tangan Albert tak kalah erat. Tak lama, Sonya pun mengangguk pertanda ia setuju.
•••
Sonya berjalan gontai, ia mati-matian ia menahan tangisnya agar tidak pecah. Saat ini, ia baru saja keluar dari ruangan dokter.
Sonya sama sekali tidak mengandung, ia hanya mengalami masalah di pencernaanya. Hancur, seketika semua bayang-bayang Sonya tentang kesempatannya untuk mengandung sirna kala mendengar ucapan dokter.
Umur Sonya sudah menginjak 55 tahun. Walaupun ia tampak lebih muda karena menjaga pola hidupnya. Tapi, tetap saja, umur tetaplah umur. Ia takan bisa mengandung kembali.
Albert yang berjalan di belakang Sonya, langsung menggenggam erat tangan istrinya, ia mengerti betul perasaan Sonya.
Sonya bergeming, ia menatap kosong ke arah di depan. Albert menghela napas saat melihat kondisi Sonya yang kacau.
"Sonya!" panggil Albert, Sonya tersadar. Ia menoleh ke samping dan tersenyum pada Albert.
"Albert, tolong tebus obatku. Aku akan menunggu di luar" ucap Sonya. Albert pun membalas ucapan Sonya dengan tersenyum. Ia mengangguk, lalu melepaskan genggaman tangan Sonya.
"Tunggu aku," jawab Albert.
Setelah Albert pergi, Sonya pun melangkahkan kakinya keluar. Ia langsung menghentikan taxi. Ya, butuh waktu untuk menenangkan diri. Rasanya ia terlalu malu menatap Albert. Kemarin-kemarin, ia sudah percaya diri akan mengandung kembali. Tapi, nyatanya.
Saat sudah berada di dalam taxi, tangis Sonya luruh. Ia tak bisa menahannya lagi. Tujuannya hanya satu, pergi ke panti asuhan dan bermain bersama anak-anak. Ia yakin, Albert takan menemukannya.
••
Albert menghela napas saat tak melihat Sonya di manapun. Dari gestur Sonya saat menyuruhnya untuk menebus obat, Albert bisa tau bahwa Sonya akan pergi terlebih dahulu.
Albert pun berjalan kearah mobilnya, dan menuju tempat di mana Sonya berada.
Setelah sampai di panti asuhan, ia langsung menuju taman di sebelah samping, tepat di mana Sonya selalu duduk sambil melihat danau buatan.
Benar saja, Sonya sedang duduk di kursi. Ia bisa melihat jelas bahu Sonya sedang bergetar, pertanda istrinya sedang menangis.
Albert pun pelahan maju ke arah Sonya, dan mendudukan diri di sebelah Sonya.
Sonya yang merasakan ada orang yang duduk di sebelahnya langsung menoleh. ia terperanjat kaget saat Albert duduk di depannya. Bagaimana mungkin Albert bisa menemukannya.
Sonya langsung mengahapus air matanya. Ia sungguh tak sanggup untuk menatap Albert, kenapa rasanya sangat menyesakan.
Albert yang tau Sonya akan meninggalkannya langsung menggenggam tangan Sonya. Setelah itu, ia membawa kepala Sonya untuk bersandar di bahunya.
Sonya terdiam, tangisnya kembali pecah. Berada di dekat Albert sungguh sangat menyesakan.
"Albert, tinggalkan aku! menikahlah lagi dengan wanita yang lebih muda. Aku yakin, kau akan mendapatkan anak lagi," ucap Sonya dengan berusaha tegar. Bibirnya bergetar, suaranya sempat tercekat di tenggorokan, sebelum akhirnya ia bisa menuntaskan ucapannya.
Mendengar ucapan Sonya. Albert tersenyum. Namun, tak lama bulir bening mengalir dari kedua matanya.
Rasanya sangat menyesakan dada saat mendengar ucapan Sonya yang menyuruhnya meninggalkannya, Kenapa ia harus mendapat istri sebaik Sonya, dan kenapa ia Sonya harus mendapat lelaki brengsek seperti dirinya.
"Sonya, Aku memang pria yang brengsek. Tapi, aku tak sebrengsek yang kau pikirkan. Aku tak masalah jika kita tak memiliki anak lagi. Jika aku memang berniat meninggalkanmu. Aku sudah melakukan itu dari dulu. Kau mencintaiku tanpa syarat, dan aku mencintaimu lebih dari kau mencintaiku. Jadi, berhentilah berpikir aku akan meninggalkanmu. Kita tak pernah tau sampai kapan umur kita di dunia ini. Aku hanya ingin mencintaimu, bersamamu dan menghabiskan seluruh waktuku untukmu."
Mendengar suara Albert, Sonya tertegun. Albert memang biasa menggombalinya. Namun, kali ini, ia tau bahwa Albert bukan sedang menggombal. Ia yakin, ucapan Albert benar-benar tulus.
Sonya terkesiap saat melihat gerakan tangan Albert yang seperti sedang menghapus air mata. Dengan cepat, Sonya pun mengangkat kepalanya dan melihat ke arah Albert.
Benar saja, ia melihat Albert sedang mengusap matanya, bahkan ia bisa melihat mata suaminya basah, pertanda Albert benar-benar menangis.
__ADS_1
"A-albert, kau menangis?" tanya Sonya terbata-bata.
Albert menoleh ke arah Sonya, Lalu ia sedikit memiringkan posisi duduknya, dan setelah itu. Ia langsung menangkup kedua pipi Sonya, dan mengecup kening Sonya dengan penuh kasih sayang.
"Jangan berpikir aku akan meninggalkanmu, Sonya. Kita hanya perlu berbahagia, merajut kisah yang selama ini terjeda. Kau mengertikan maksudku?"
Mendengar ucapan Albert, Sonya pun mengangguk pelan. Ia menatap, lekat-lekat wajah Albert, sedetik kemudian, ia langsung berhambur memeluk suaminya.
"Kita memang tak bisa memiliki anak lagi. Tapi, kita bisa mulai membesarkan anak dan menganggapnya sebagai anak kita," ucap Albert saat memeluk Sonya.
Mendengar ucapan Albert, Sonya melepaskan pelukannya. Ia menatap Albert dengan heran.
"Ma-maksudmu ... Kau ingin kita mengadopsi anak?" tanya Sonya dengan wajah berbinar.
Albert menangguk, "Aku akan mengurus semuanya."
Mendengar ucapan Albert seketika, Sonya memeluk Albert kembali. Ia sungguh bahagia ketika Albert mengusulkan mengadopsi anak.
Sonya berjanji, akan memberi yang terbaik untuk calon anak adopsi mereka.
•••
Gia mematut dirinya di cermin, ia sudah siap untuk pergi ke kantor suaminya. Jika biasanya, ia pergi ke kantor berbarengan dengan Zayn. Namun, tidak untuk saat ini ia ingin memberi kejutan untuk suaminya.
Dan disinilah Gia sekarang. Setelah menepuh perjalanan yang cukup panjang akhirnya ia pun sampai di kantor milik suaminya.
Seperti biasa. Saat ia masuk, semua karyawan yang berpapasan dengannya akan menunduk. Padahal, dulu semua karyawan suaminya menatapnya dengan sinis.
Setelah masuk, ia pun langsung menaiki lift untuk menuju ke ruangan suaminya. Keningnya mengkerut heran saat melihat meja Mark kosong. Tanpa pikir panjang, Ia pun segera masuk ke ruangan suaminya.
"Daddy aku ...." Gia menghentikan ucapannya saat melihat ternyata di ruangan suaminya sedang berlangsung meeting. Ia tak tau, ruangan suaminya sudah di rubah.
Beberapa orang yang sedang menghadap ke layar dan memerhatikan Zayn yang sedang memimpin meeting pun menoleh ke arah pintu. Termasuk, Zayn. Ia yang sedang berdiri langsung melihat ke arah Gia.
Gia mengigit bibir bawahnya, ia sungguh sangat malu. Ia bahkan tak berani menatap suaminya. Ia ingat betul bagaimana watak Zayn.
Dengan perlahan, Gia pun menutup pintu dan berbalik. Tiba-tiba lututnya gemetar. Ia sungguh takut suaminya memarahinya.
Baru beberapa langakah ia berjalan, pundaknya di tepuk dari belakang. Siapa lagi kalau bukan Zayn yang menepuk pundaknya.
Gia pun berbalik, tapi ia tak berani menatap Zayn, matanya bahkan sudah mengembun, membayangkan kemungkinan hal buruk.
"Maafkan aku. Jangan memarahiku," lirih Gia dengan tertunduk.
Kening Zayn mengkerut saat melihat reaksi Gia. Namun, ia kembali teringat bahwa istrinya selalu berubah mood karena hormon kehamilan.
Zayn tersenyum. Ia membawa Gia kedalam dekapannya. "Memangnya siapa yang akan memarahimu, hmm?" ucap Zayn. Ia mengelus rambut Gia dengan penuh kasih sayang.
Zayn sempat bingung, bagaimana caranya menghadapi istrinya yang terkadang menghadapi mood yang sangat buruk, karena hormon kehamilan. Namun, ia menemukan trik jitu, ia akan memeluk istrinya agar mood istrinya membaik, dan itu terbukti.
Gia mengangkat kepalanya. Air matanya bahkan sudah turun, membasahi wajah cantiknya.
"Kau tidak marah, Dad?" tanya Gia lagi.
"Tidak, Sayang. Aku tidak marah. Bagaimana jika kau menungguku di dalam?" tawar Zayn. Gia semakin mengeratkan pelukannya dan menggeleng di pelukan suaminya.
"Tadinya, aku ingin mengajakmu makan siang bersama. Tapi, aku lapar. Bolehkah aku makan di kantin, Dad."
Zayn melepaskan pelukannya. Ia mengusap wajah istrinya dengan ibu jarinya. "Mau aku antar?" tanya Zayn, dan Gia langsung menggeleng.
"Aku akan kesana sendiri, Dad. Kau lanjutkanlah!" jawab Gia.
"Aku akan menyusulmu sebentar lagi." Setelah mengatakan itu, Zayn mencium bibir istrinya sekilas. Lalu berbalik untuk masuk kembali ke ruangannya.
__ADS_1
•••
"Zidan, sepertinya kau yang harus pergi!" titah Zayn saat meeting selesai. Semua orang sudah pergi dari ruangan dan hanya menyisakan kedua kaka beradik itu.
Zidan yang sedang minum langsung tersedak. "Kenapa kau menugaskanku lagi. Aku sudah pergi kemarin. Tugaskan Mark saja. Aku ingin mengambil cuti liburanku!"
"Zidan, ayolah! mau ku peluk," ucap Zayn, membuat Zidan merinding.
"Zayn, kau sungguh membuaku geli."
"Kenapa? bukankah kau dulu selalu ingin di peluk olehku?"
Zidan pun bangkit dari duduknya, "Akan ku laporkan kau pada Mommy, jika kau mengutusku untuk pergi lagi," ucap Zidan, setelah itu, ia pun pergi meninggalkan Zayn.
Zayn menggeleng saat mendengar ucapan Zidan. Namun, tak lama ia tersenyum. Dulu, Zidan amat menghormatinya. Namun, setelah berbaikan. Mereka seperti adik kaka pada umumnya. Ternyata, memiliki adik sangat menyenangkan. Ia menepuk kening karena telah melupakan Gia, yang menunggunya di kantin.
••
Gia duduk tak nyaman di kantin, semenjak kehadirannya. Suasana kantin mendadak sunyi. Beberapa yang sedang mengobrol langsung menghentikan obrolan mereka saat Gia datang.
Saat makanan datang, Gia pun sudah tak selera. Ia ingin bangkit dari duduknya. Namun, ia memutuskan untuk menunggu suaminya.
Tak lama, ia mendengar suara kursi di geser. Gia yang sedang menunduk langsung menoleh, ternyata suaminya yang datang.
"Kenapa kau belum menyentuh makananmu?" tanya Zayn yang duduk di sebelah Gia. Ia langsung mengambil jus di depannya dan menyodorkannya ke hadapan Gia, karena makanan masih utuh, Zayn tau istrinya belum memakan apa pun.
Gia mengambil jus di tangan suaminya. dan langsung, menaruhnya kembali. "Dad, aku tak mau makan di sini. Aku ingin makan di ruanganmu," ucapnya. Zayn pun mengangguk. Ia langsung bangkit dari duduknya dan mengulurkan tangannya pada Gia.
•••
"Dad, kenapa kita kemari. Bukankah ruangannmu di sebelah sana?" tanya Gia. Ia heran saat suaminya membawanya ke ruangan lain.
"Aku sudah memindahkan ruanganku. Ruangan itu terlalu kecil, dan aku butuh ruangan yang lebih besar," jawab Zayn, sambil membukakan pintu.
Mata Gia berbinar takjub saat melihat ruangan suaminya. Begitu luas, sangat luas.
Di sebelah ujung, Zayn menyulapnya menjadi area bermain untuk anak, bahkan fasilitasnya begitu lengkap. Ada pula box bayi. Ini putra pertamanya, tentu saja ia ingin yang terbaik untuk putrnya. Ia sengaja menyulap ruangannya karena ingin membuat putranya nyaman saat berkunjung ke kantornya.
"Kau suka?" tanya Zayn. Ia memeluk Gia dari belakang.
Gia tersenyum. "Anak kita bahkan belum lahir, Dad. Kau bahkan sudah menyiapkan ini semua," jawabnya sambil terkekeh.
"putraku harus mendapat yang terbaik," jawab Zayn. Ia mengelus lembut perut istrinya.
Gia melepaskan pelukan suaminya. Ia berbalik dan menautkan tangannya pada tengkuk suaminya, lalu ia berjinjit, mengecup bibir suaminya sekilas.
"I Love you, Dad," ucap Gia, setelah mengecup bibir suaminya.
Zayn tersenyum. Ia mengecup bibir ranum istrinya dan melummatnya. Awalnya, ciuman itu sangat lembut. Namun, berubah menjadi ganas, kala Zayn merasakan gairah yang menggelora. Dan ....
•••
"Kau sudah mencoba menelpon, Mommy?" tanya Zayn pada Zidan. Saat ini, Zayn, Zidan dan Gia sedang berada di restoran. Sonya mengajak mereka untuk makan di luar.
Zidan menggeleng, "Mommy tak menjawab panggilanku."
"Itu, Mommy," sela Gia yang melihat Sonya dan Albert masuk.
Zayn dan Zidan pun menoleh, kening mereka mengkerut kala melihat Sonya dan Albert menuntun seorang bocah perempuan yang cantik dan berusia sekitar 4 tahun.
"Maaf membuat kalian lama menunggu," ucap Sonya. Ia menggeser kursi dan memangku bocah kecil itu untuk duduk.
"Mom, dia siapa?" tanya Zidan.
__ADS_1
"Ini adik kalian," ucap Albert dengan santainya.
"A-adik?" ulang Zayn dan Zidan secara bersamaan. Mereka sama sama melongo mendengar ucapan Albert dan ....
__ADS_2