
__ADS_3
Aditya tidak kaget dengan ucapan istrinya, dia sudah menebak dengan benar bahwa pasti Fatimah akan meminta dirinya untuk mengantarkannya ke rumah sakit menemui Annisa.
"Tapi..aku harus memastikan dulu sesuatu.." Aditya melepaskan pelukannya, dia menatap wajah Fatimah dengan lembut.
"Apa..?" Jawab Fatimah menghapus air matanya.
"Kalau kamu berpikiran akan mendonorkan ginjal untuknya, segera hapus pikiran itu dari kepalamu.."
"Aku tidak akan menyetujuinya, apapun yang terjadi aku tidak akan memberi izin.."
Fatimah menatap Aditya dengan lembut.
"Aku hanya ingin bertemu dengannya dulu.." Jawab Fatimah pelan.
"Keadaannya sangat kritis dan memerlukan ginjal secepatnya, aku tidak mau sesampainya kita disana, kamu berkata akan memberikan ginjal kamu.."
"Aku akan mengantarmu tapi kamu harus berjanji satu hal.."
"Jangan pernah berpikir, kamu akan mendonorkan ginjal untuknya.."
Fatimah terdiam, dia tidak bisa menjawab.
Akhirnya Aditya menemani Fatimah pergi kerumah sakit, sementara Zahra dan Zidane dititipkan pada Bik Minah.
Aditya memegang erat tangan istrinya ketika mereka berjalan melewati lorong rumah sakit, hingga akhirnya sampailah mereka di depan ruang ICU, dimana ada beberapa orang disana termasuk Pak Handoko dan kedua anaknya.
Semua mata tertuju pada Aditya dan Fatimah.
Pak Handoko melihat Fatimah, berpikir bahwa sungguh wajah Fatimah sangat mirip dengan istrinya, mereka ibarat pinang dibelah dua. Hanya saja Fatimah berpakaian syar'i, seluruh auratnya tertutupi, berbeda dengan istrinya yang selalu berpakaian biasa.
Clara menghampiri Fatimah dengan matanya yang sembab.
"Terima kasih sudah mau datang.." Clara memeluk Fatimah.
Fatimah menerima pelukan Clara.
"Kamu tahu, kamu sangat mirip dengan mama.."
"Aku iri.." Ucap Clara dengan terisak.
Fatimah terdiam.
"Masuklah.." Kevin menghampiri mereka berdua, meminta agar Fatimah segera menemui ibunya.
Fatimah melihat Aditya.
Suaminya mengangguk.
Fatimah berjalan perlahan membuka pintu, dia memasuki ruangan itu dan melihat ada sesosok tubuh wanita yang terbaring diatas ranjang.
Perlahan Fatimah berjalan, semakin mendekatinya, hingga akhirnya Fatimah bisa melihat dengan jelas wajah wanita itu.
Sudah pasti air mata membasahi wajahnya, walaupun sebisa mungkin Fatimah menahan tangisnya, tapi percuma saja karena air mata tetap mengalir dengan deras.
Fatimah duduk di kursi di sampingnya, dia melihat lekat wajah wanita itu yang mereka bilang adalah ibu kandungnya, hati Fatimah berdebar hebat, walaupun ini pertama kalinya dia melihatnya, akan tetapi entah kenapa wajahnya terasa tidak asing, seakan-akan mereka sering bertemu sebelumnya.
Ragu ragu Fatimah mencoba memegang tangannya, tapi diurungkannya, dia menutup wajahnya dengan kedua tangan, dan menangis tersedu-sedu.
Tiba-tiba.
"Fatimah.." Annisa tersadar, entah kenapa dia merasakan kedatangan Fatimah, putri kandungnya yang sangat dirindukan.
__ADS_1
Fatimah kaget dan membuka tangannya, melihat wanita yang terbaring itu telah sadar, dan tengah melihat kepadanya.
"Anakku..." Annisa menangis melihat Fatimah.
"Maafkan mama nak..maafkan mama.." Annisa menangis terisak-isak.
Fatimah pun menangis, kini keduanya hanyut dengan perasaannya masing-masing.
"Mama bersalah telah meninggalkanmu.."
Fatimah masih dengan tangisnya, dia tidak menjawab apapun.
"Ampuni mamah nak.." Mohon Annisa lagi, tangannya terangkat, meminta agar Fatimah memegangnya.
Fatimah memberikan tangannya, mendekatkan pada tangan Annisa, kini tangan mereka saling berpegangan.
Annisa tersenyum.
"Mama.." Ucap Fatimah tiba tiba.
Mendengar itu, hati Annisa berbunga-bunga, dia menangis bahagia mendengar Fatimah memanggilnya mama.
"Cepat sembuh.." Lanjut Fatimah dengan terisak.
Annisa mengangguk.
Aditya benar, Fatimah wanita yang baik, dia tidak melihat sedikitpun rasa kebencian untuknya di mata Fatimah, kini Annisa semakin merasa bersalah.
Perawat datang, dia meminta Fatimah untuk keluar karena akan dilakukan pemeriksaan oleh Dokter yang sebentar lagi akan datang.
Fatimah melepaskan pegangan tangannya, meminta izin kepada Annisa untuk keluar.
Annisa mengangguk, dia melihat kepergian Fatimah dengan perasaannya yang teramat senang, seakan kini kesehatannya sudah sangat membaik.
"Kamu baik baik saja..?" Bisik Aditya.
Fatimah mengangguk, dia tetap membenamkan kepalanya di dada suaminya.
Pak Handoko dan kedua anaknya penasaran dengan apa yang terjadi di dalam sana tadi, mereka menghampiri Fatimah.
"Bagaimana keadaannya.."
Fatimah melepaskan pelukan suaminya.
"Dia sudah sadar.." Jawab Fatimah pelan.
Pak Handoko terlihat senang, diikuti oleh Kevin dan Clara yang berulang kali mengucapkan syukur.
Aditya mengajak Fatimah untuk duduk, beberapa orang dokter terlihat memasuki ruangan, kini mereka semua hanya bisa menunggu.
Tak lama dokter keluar, semua orang langsung menghampirinya dan menanyakan keadaan Annisa.
"Keadaannya sedikit membaik, sebentar lagi kami akan melakukan prosedur cuci darah, kita hanya bisa berharap setelah dilakukan cuci darah, keadaannya pulih kembali dan bisa segera pindah keruang perawatan.."
Semua orang terlihat bersyukur.
Tak terkecuali Fatimah.
"Tunggu dokter.." Ucap Fatimah tiba tiba.
Semua orang melihat Fatimah.
__ADS_1
"Ya.."
"Saya putri kandungnya, mengenai donor ginjal itu..." Fatimah tidak sanggup melakukan perkataannya.
"Apa maksudmu..?" Aditya bertanya setengah marah.
"Apakah ginjal saya akan cocok untuknya..?"
"Ginjal orang tua dan anak biasanya akan selalu cocok, tapi untuk memastikannya, perlu dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu.."
Aditya melihat Fatimah dengan tajam.
Begitupun dengan Pak Handoko dan kedua anaknya.
"Sampai kapanpun, aku tidak akan memberi kamu izin.." Ucap Aditya dengan marah.
Fatimah menunduk, dia tahu suaminya akan marah.
"Tapi.."
"Apa..?"
"Aku sudah tahu ini akan terjadi.." Aditya terlihat kesal.
"Sebelum kamu berpikir untuk mendonorkan ginjal kamu, terlebih dahulu pikirkan Zahra dan Zidane.."
"Kamu harus sehat untuk merawat anak anak kita.."
Fatimah menangis.
"Bersabarlah..aku juga sedang mengusahakan ginjal yang cocok untuknya.." Aditya memeluk Fatimah.
Pak Handoko dan kedua anaknya mendengarkan percakapan sepasang suami istri itu.
Clara takjub dengan sifat Fatimah, alih-alih menghakimi ibunya, Fatimah malah akan memberikan ginjalnya tanpa bertanya banyak hal.
Clara menghampiri Fatimah yang menangis di pelukan suaminya
"Aku tidak tahu ada orang sebaik kamu.."
Fatimah melepaskan pelukannya, dia melihat Clara.
"Kamu tahu..hatimu sangat mulia.."
"Tapi sebaiknya kamu mendengarkan kata suamimu, dan berdoa semoga sebentar lagi ada ginjal yang cocok untuk ibu kita.."
"Memang benar orang bisa hidup dengan satu ginjal, akan tetapi hidupnya tidak akan sama seperti sebelumnya, lebih baik kamu pikirkan lagi, terlebih kamu mempunyai dua orang anak yang lebih membutuhkanmu.."
Fatimah mengangguk.
"Boleh aku bertanya satu hal..?" Tanya Clara.
"Apa kamu tidak marah kepadanya.. padahal mama telah meninggalkan kamu..?" Tanya Clara penasaran.
Fatimah melihat Clara, dia menggelengkan kepalanya.
"Aku tahu ada alasan kuat sehingga beliau melakukan itu.."
"Kamu tahu apa itu..?"
Fatimah menggelengkan kepalanya.
__ADS_1
"Yang aku tahu, Almarhum kakek selalu menceritakan hal baik tentangnya..dan aku mempercayainya..."
__ADS_2